Para ulama membagi dzikir menjadi dua macam.


Pertama, Dzikir Billisan. Yaitu dzikir yang kita ucapkan atau kita lafadzkan dengan lisan atau mulut kita. Seperti membaca Al Qur’an, menbaca do’a-do’a ma’tsur dan lain sebagainya.


Kedua, Dzikir Bilqolbi. Yaitu memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah yang penuh dengan pelajaran ini dan juga membaca Al Qur’an dan berdzikir yang dilakukan dalam hati. Membaca Al Qur’an seperti ini dibolehkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan junub. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim.


Untuk dzikir yang macam kedua inilah, kita diperbolehkan melakukannya di dalam kamar mandi ataupun toilet. Dalam kitabnya Al adzkar, Imam Nawawi dari madzhab As Syafi’i mengatakan,


[يكره الذكر والكلام حال قضاء الحاجة ، سواء كان في الصحراء أو في البنيان ، وسواء في ذلك جميع الأذكار والكلام إلا كلام الضرورة حتى قال بعض أصحابنا : إذا عطس لا يحمد الله تعالى ، ولا يشمت عاطساً ، ولا يرد السلام ، ولا يجيب المؤذن ، ويكون المُسَلِّمُ مقصراً لا يستحق جواباً ، والكلام بهذا كله مكروه كراهة تنزيه ولا يحرم ، فإن عطس فحمد الله تعالى بقلبه ولم يحرك لسانه فلا بأس ، وكذلك يفعل حال الجماع .


 “Makruh hukumnya berdzikir dan berbicara di saat buang hajat, baik itu dilakukan di alam terbuka ataupun di dalam kamar kecil. Hal itu berlaku untuk semua jenis dzikir dan pembicaraan. Kecuali omongan yang diucapkan dalam keadaan dharurat. Bahkan sebagian ulama kita (kalangan Syafi’iyyah) mengatakan : Tidak diperkenankan bagi orang yang bersin untuk membaca Hamdalah, atau menjawab hamdalahnya orang yang bersin, tidak menjawab salam, dan tidak menjawab adzan. Orang yang memberi salam kepada yang sedang menunaikan hajat, adalah orang yang ngawur dan tidak berhak dijawab. Hukum mengenai ini semua adalah makruh tanzih dan bukan haram. Jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah dalam hatinya dan tidak melafadzkannya dengan lisannya maka tidaklah mengapa. Demikain jugalah yang perlu dilakukannya saat melakukan jima”


Ikrimah rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Mundzir dalam Al Ausat, berkata :


لا يذكر الله وهو على الخلاء بلسانه ولكن بقلبه


“Seseorang yang sedang berada dalam toilet tidak diperkenankan untuk berdzikir kepada Allah dengan lisannya. Tapi ia diperbolehkan melakukan itu dalam hatinya”


Kesimpulanya, Kita diperbolehkan berdzikir dalam hati di dalam kamar mandi ataupun toilet.

Assalamualaikum wr. wb
Alhamdulillah, Pada Kesempatan yang berbahagia ini saya akan membicarakan tentang "Pesona Wisata Alam Di Bumi Sriwijaya".
Sriwijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sumatera Selatan adalah Provinsi terbesar di Sumatera. Provinsi ini mempunyai luas wilayah 113.339 km2. Tidak heran bila Sumsel menyimpan begitu besar kekayaan khususnya dibidang pariwisatanya.
Di Bumi Sriwijaya ini orang banyak yang berfikir bahwa hanya di Kota Palembang sajalah yang mempunyai objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Itu semua tidak terlepas karena Palembang adalah jantung ibukota dari sumatera selatan itu sendiri. Padahal di sumsel ada 15 kabupaten/kota yang juga mempunyai tempat-tempat wisata yang tidak kalah dengan di kota palembang itu sendiri bahkan di provinsi-provinsi lain di Indonesia. 

1. Kabupaten Banyuasin
Kabupaten yang mempunyai pusat di Pangkalan Balai ini mempunyai tempat pariwisata yang terkenal yaitu Taman Nasional Sembilang.Taman Nasional Sembilang merupakan hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian (tepi sungai). Di taman ini anda dapat menjumpai ribuan bahkan puluhan ribu burung migran yang asal Siberia. Selain banyak dikunjungi jenis burung bluwok ada juga jenis burung lainnya yang ada seperti blekok asia, trinil tutul, undan putih, bluwok putih, bangau tongtong, dara laut sayap putih dan lain-lain.

2. Kabupaten Empat Lawang
Kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 229.552 Jiwa ini selain menjadi kabupaten penghasil kopi terbesar di sumsel ternyata juga mempunyai tempat pariwisata air terjun yang terkenal yaitu air terjun Tujuh Panggung. Air terjun ini terletak di atas deretan Bukit Barisan yang terletak 1.200 meter di atas permukaan laut. Di air terjun ini terdapat tujuh panggung yang masing- masing panggung mempunyai keindahan dan keeksotisan tersendiri.

3. Kabupaten Lahat
Kalau di Kabupaten ini siapa sih yang tidak kenal dengan bukit yang terkenal dengan bukit jempolnya. ya dikabupaten ini terdapat sebuah bukit yang sedikit aneh yang bernama bukit serelo. Dibeberapa tempat dibawah bukit terdapat beberapa tempat untuk berkemah atau rekreasi. Selain bukit serelo yang unik ini ada banyak tempat wisata alam yang dapat anda kunjungi di kabupaten yang mempunyai sembilan belas kecamatan ini. seperti, Arum Jeram Sungai Manna, Air Panas Tanjung Sakti, Air Terjun Lawang Agung, Gunung Dempo, Kebun binatang Rimbang Kemambang dan juga Air terjun Bidadari. Semua tempat yang indah dan menarik ini dapat anda temukan dan nikmati hanya di kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

4. Kabupaten Muara Enim
Di Muara Enim setidaknya ada tiga tempat wisata alam dan budaya yang dapat anda kunjungi dan nikmati keindahanya. ketiganya adalah Air terjun Curup Tenang, Arum Jeram dan Situs Candi Bumi Ayu. Untuk situs Candi umi Ayu sendiri merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatera Selatan yang masih ada hingga kini. Namun Objek wisata yang paling terkenal  di kabupaten Muara Enim ini adalah air terjun Curup Tenang. Air terjun yang mempunyai tinggi 99 m dan merupakan air terjun tertinggi di sumatera selatan ini terletak dekat desa Bedegung , Kecamatan Tanjung Agung sekitar 56 km di selatan muara enim. Sedangkan untuk aliran air terjun yang sangat deras ini dimanfaatkan untuk olahraga ekstrim seperti arum jeram.

5. Kabupaten Musi Banyuasin
Kabupaten yang menganut moto "Bumi Serasan Sekate" ini mempunyai potensi wisata yang kebanyakan adalah berbentuk danau. Setidaknya ada dua danau yang menjadi kebanggaan warga Muba. yaitu, Danau Konger dan danau Ulak Lia. Untuk pemberian nama danau konger sendiri bisa dikatakan unik. karena Sebutan Danau Konger diambil dari nama salah warga Negara Amerika Serikat yang bernama Mr. Congger, seorang pengusaha pengeboran minyak yang berjasa melakukan pengedaman jalan sekitar danau konger itu sendiri.

6. Kabupaten Musi Rawas

Musi Rawas ternyata mempunyai banyak sekali tempat wisata. Air terjun, Bendungan, Bukit, Curug, Danau, Gua hingga Hutan Lindung. Semua dapat anda temui dan nikmat hanya di kabupaten yang beribukota Muara Beliti Baru ini. Dari sekian banyak Air terjun hingga Hutan yang ada di Musi Rawas ini ada sebuah danau yang menjadi favorit warga untuk menghabiskan akhir pekan dan melepas penat setelah bekerja. Danau ini bernama danau Raya, terletak dekat desa Karang Anyar di kecamatan Muara Rupit, sekitar 80 km dari Lubuk Linggau.

7. Kabupaten Ogan Ilir
Kabupaten yang mempunyai batas Utara dengan Kota Palembang, Selatan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Barat Kabupaten Muara Enim dan sebelah Timur Kabupaten Ogan Komering Ilir ini mempunyai tiga objek wisata. yaitu, Tanjung Putus, Lebung Karangan dan Teluk Putih.


8. Kabupaten Ogan Komering Ilir
Kabupaten OKI ini sangat terkenal dengan Teluk Gelam nya. Teluk Gelam adalah sebuah danau alami seluas sekitar 250 hektar yang airnya tidak pernah mengering, meski pada musim kemarau.
Selain Teluk Gelam yang terkenal, di OKI ini ada juga memiliki beberapa danau yang juga menarik untuk dikunjungi. Diantaranya adalah Danau Rassau, Danau Ayek Itam dan Danau Teloko.

9. Kabupaten Ogan Komering Ulu
Kabupaten ini mempunyai ibukota Baturaja dan mempunyai penduduk sekitar 1.159.713 Jiwa.
Di Kabupaten yang mendapat urutan 6 daerah tujuan wisata oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata RI ini menyimpan dua goa yang di Perioritaskan Kab. OKU ini untuk menjadi wisata. Yaitu Goa Putridan Goa Harimau. 
Goa Putri yang mana untuk saat ini Goa Putri merupakan tujuan wiasata yang berstandar nasional. Di OKU ini ada juga sumber air panas Gemuhak.
 

10. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan
Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung ini mempunyai sebuah danau yang terbesar sekaligus terindah di Sumatera Selatan. Ya Danau Ranau namanya. Danau yang  terletak di kecamatan Banding Agung Kabupaten UKO Selatan ini menjadi objek wisata yang terkenal bukan hanya dari wilayah sumatera selatan tapi juga sudah sangat terkenal di seluruh pulau sumatera dan juga di Indonesia.

11. Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
Oku timur, Kabupaten yang masih sangat muda ini ternyata mempunyai tempat wisata yang tidak kalah dengan daerah lainya di sumatera selatan. Salah satu potensi wisata buatan sekaligus alam yang ada di Kabupaten OKU Timur adalah bendung perjaya yang berada di Kecamatan Martapura. Bendung yang dibangun tahun 1991 dan membendung sungai komering ini, selain berfungsi sebagai sarana irigasi juga potensial untuk dijadikan obyek wisata alam sebagai sumber pendapatan daerah dan hiburan rakyat.

12. Kota Lubuklinggau
Lubuk Linggau yang baru 10 tahun ditingkatkan statusnya menjadi kota, Lengkapnya dengan Undang-Undang ( UU ) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001 ini mempunyai air terjun yang sangat indah bernama air terjun temam. Air Terjun Temam ini merupakan merupakan kawasan objek wisata alam berupa air terjun dengan ketinggian 12 m dan lebar 25 m. Disini anda akan dimanjakan dengan segarnya air dan bebatuan yang sangat indah serta lingkungannya masih terjaga.


13. Kota Pagar Alam
Kota Pagar Alam mempunyai beberapa objek pariwisata yang menjadi unggulan. Salah satunya yang paling terkenal adalah air terjun Lematang Indah. Air terjun ini memiliki ketinggian 40 m. Air Terjun Lematang Indah terletak di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Letak air terjun ini sangat mudah ditempuh karena tepat berada di pinggiran kota Pagar Alam. Beberapa objek wisata lainya yang dapat anda kunjungi bila berada di Pagar Alam adalah Batu Gong, Perkebunan teh Lereng Dempo, Air Terjun Curup Embun dan Arca Manusia Purba 



14. Kota Prabumulih
Kota Prabumulih yang hanya memiliki luas 435,10 km², merupakan Kabupaten/Kota terkecil jika dibandingkan dengan kota atau pun kabupaten di Sumatera Selatan. Namun begitu Kota Prabumulih juga mempunyai objek wisata bernama Kampung Wisata Prabumulih yang bernuansa alamiah yang tertata dengan rapi dan indah.


15. Kota Palembang
Palembang, ya.. Kota terbesar, terpadat dan terindah di Bumi Sriwijaya ini tidak hanya kaya akan segala pernak-pernik dan potensi wisata buatanya. Anda sudah sering bahkan hafal dengan yang namanya Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, Monumen Pejuang Rakyat (MonPeRa) hingga yang mendunia yaitu Jakabaring Sport City (JSC). 
Tetapi diantara banyaknya tempat hiburan buatan di Palembang, ternyata banyak juga tempat wisata alaminya yang sangat mengagumkan dan luar biasa. Diantaranya adalah Sungai Musi, Hutan Wisata Punti Kayu, dan Bukit Siguntang.

Subhanallah, Ternyata Sumatera Selatan yang begitu besar dan luas dengan 15 kabupaten/kota mempunyai banyak tempat-tempat wisata alam yang indah, unik dan mempesona sesuai dengan ciri khas nya masing-masing. Inilah yang buat saya pribadi bangga dengan menjadi warga di sumsel ini. Tapi itu juga kita sebagai manusia khususnya sebagai warga sumatera selatan sendiri wajib menjaga dan memanfaatkan semua yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa dengan secara arif dan bijaksana. 

Akhirussalam, Wassalamualaikum wr. wb

Sumber foto dan data, kami berterima kasih kepada,
website lainya.


Assalamualaikum wr. wb
Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW banyak menjelaskan tentang keajaiban sedekah.

Beberapa keajaiban sedekah tersebut diantaranya adalah:

1. Sedekah bisa melepaskan pelakunya dari bencana.Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya sedekah dapat menolak 70 pintu bencana."

2. Sedekah merupakan obat penyakit pada tubuh.Rasulullah SAW bersabda,
"Obatilah penyakitmu dengan bersedekah."

3. Sedekah sebagai benteng buat diri kita.Rasulullah SAW bersabda,
"Bentengilah harta bendamu dengan sedekah."

4. Sedekah sebagai pemadam kemurkaan Allah SWT.Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah dapat menutup kemurkaan Allah."

5. Sedekah bisa menambah keakraban sesama muslim.Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah adalah hadiah. Maka, berikanlah hadiah kepada teman pergaulanmu dan berkasih sayanglah kalian dengan saling memberi sedekah."

6. Sedekah dapat menambah umur."Rasulullah SAW bersabda,
"Sedekah dapat menolak musibah serta dapat menambah keberkahan umur."

7. Sedekah mampu menanamkan rasa belas kasihan dalam hati.Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa mendapatkan kesedihan hati, maka berikanlah sedekah."

8. Sedekah sebagai syafaat kelak di akhirat.Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya yang akan menaungi orang mukmin pada hari kiamat kelak adalah sedekah."

9. Sedekah menuai pahala yang termat besar.Dalam sebuah atsar disebutkan,
"Barang siapa bersedekah dengan sebiji tamar, kelak di hari kiamat dia akan mendapat pahala
sebesar gunung yang berada di atas timbangan amalnya."

10. Sedekah sebagai wasilah menambah rezeki.Rasululah SAW bersabda,
"Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan akan bertambah, akan bertambah, dan akan bertambah."


Subhanallah, begitu banyak manfaat yang kita dapat dari pada kita bersedekah. Oleh karena itu, marilah saudaraku kita bersedekah dengan ikhlas semoga Allah melimpahkan kebaikan dan segala yang terbaik untuk kita semua. Amien ya robbal alamin..
Wassalamualaikum wr. wb

Assalamualaikum wr. wb
Alhamdulillah, Pada postingan kali ini kami akan berbagi Apps (Aplikasi) yang di tujukan khusus untuk pengguna Android agar mempermudah dalam mengakses dan mengetahui apa saja yang terbaru dari situs Tribun ilmu ini.


Baiklah,  Berikut ini kami jelaskan langkah-langkah untuk Download


PertamaMenyiapkan ponsel Android. Pergi ke Pengaturan> Aplikasi dan pastikan Sumber Tidak Diketahui dicentang.


Kedua, Download Apps dengan mengeklik link freeblogapps.com/d/541d74 atau tombol dibawah ini






Terakhir, Buka Apps yang sudah anda download dan Semoga bermanfaat.


Demikian sedikit pengetahuan kami dan mudah-mudahan sedikit banyak dapat berguna bagi pengunjung sekalian, Amien...
Wassalamualaikum wr. wb













Pertanyaan :


Bila permainan kartu tidak membuat lalai dari Shalat dan tanpa memberi sejumlah uang ( bertaruh ), apakah itu termasuk hal yang diharamkan ?




Jawaban :


Tidak boleh bermain kartu meskipun tanpa bertaruh karena pada hakikatnya permainan tersebut membuat kita lalai untuk mengingat Allah dan melalaikan Shalat, walaupun sebagian orang menduga atau menganggap bahwa permainan itu tidak menghalangi dzikir dan shalat. Selain itu , permainan tersebut merupakan sarana untuk berjudi yang merupakan sesuatu yang patut di jauhi, sebagaimana firman Allah ,


‘’Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, ( berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.'' (QS. Al-Maidah :90)


Semoga Allah memberi petunjuk. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya .


Sumber.

Pertanyaan:


Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.


Jawaban:


Penjelasan tabur bunga di kubur.
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.


Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.


Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).


Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini  tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,


ومن تشبه بقوم فهو منهم


“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).


Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).


Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.


Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:


Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين


“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).


Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.


Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,


تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)


“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).


Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.


Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,


“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).


Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.


Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,


عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)


“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).


Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.


Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka  (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).


Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.


Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.


sumber

Pertanyaan:
Kalau minum bir 0% alkohol , hukumnya bagaimana?


Jawaban:
Hukum Bir dengan 0% alkohol
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang lurus.


Pertama, Allah menyebut minuman yang dilarang dan diharamkan dengan sebutan khamr. Allah berfirman,




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).


Kedua, definisi dan batasan khamr Para ulama mendefinisikan bahwa khamr adalah semua minuman yang memabukkan, baik yang ada di zaman dulu, yang beredar saat ini, dan yang mungkin baru akan ada di masa mendatang. Baik yang terbuat dari anggur, kurma, biji-bijian, atau yang lainnya.


Ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ


“Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram.” (HR. Muslim no.2003)


Hadis ini menjadi dasar kaidah bahwa khamr adalah segala bentuk minuman yang memabukkan, apapun bahannya dan komposisinya.


Imam Al-Khithabi menjelaskan, Hadis yang menyatakan, “Semua yang memabukkan adalah khamr…” memiliki dua makna:


A. Khamr adalah istilah untuk menyebut semua minuman yang memabukkan.
B. Segala sesuatu yang memabukkan hukumnya seperti khamr, dari sisi haramnya, dan hukuman bagi orang yang mengkonsumsinya, meskipun dia bukan khamr. Hanya saja hukumnya disamakan dengan khamr, karena statusnya sama dengan khamr. (Ma’alimu aS-Sunan, 4:265).


Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan, “Adanya hukum tergantung pada adanya illah (latar belakang munculnya hukum). Illah haramnya khamr adalah unsur memabukkan. Karena itu, selama benda tersebut memabukkan maka hukumnya haram.” (Fathul Bari, 10:56).


Berdasarkan keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa khamr tidaklah identik dengan alkohol. Karena itu, bukan berarti ketika ada bir dengan 0% alkohol maka tidak disebut khamr. Batasan khamr adalah apakah itu memabukkan ataukah tidak. Selama bir ini memabukkan ketika dikonsumsi dalam jumlah tertentu maka bir ini layak digolongkan sebagai khamr, sehingga dihukumi haram. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,


كل مسكر حرام وما أسكر كثيره فقليله حرام


“Setiap yang memabukkan adalah haram. Segala sesuatu yang jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu bisa memabukkan maka mengkonsumsi sedikit hukumnya haram.” (HR. Ibn Majah no. 3392 dan disahihkan Al-Albani).


Sumber

Pertanyaan

Yang saya ketahui, bahwa makan di kamar mandi adalah haram. Akan tetapi ketika saya beritahu seorang teman masalah tersebut, dia tertawa dan berkata bahwa saya salah. Siapakah yang benar?


jawaban 

Kamar mandi dibuat untuk buang hajat, bukan untuk makan dan minum. Tidak selayaknya seorang muslim masuk ke dalamnya kecuali untuk buang hajat. Apabila dia sudah masuk, hendaknya dia jangan makan dan minum.

Jika dengan sengaja dia makan dan minum di dalam kamar mandi tanpa ada kebutuhan mendesak, sungguh dia telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan firrah yang lurus.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang makan dan minum di kamar mandi? 

Beliau menjawab, "Kamar mandi adalah tempat buang hajat saja. Tidak selayaknya seseorang berada di dalamnya kecuali sebatas kebutuhan. Melakukan perbuatan makan atau lainnya yang menyebabkannya berlama-lama di dalamnya tidak layak." (Majmu Fatawa, 11/110).


Pertanyaan:
Misal ada orang yang dipotong rambutnya kemudian rambut tersebut dibeli oleh pemilik salon atau seseorang, tujuannya diolah untuk menjadi bulu mata, wig, dsb. Bagaimana hasil penjualan dari segi hukum Islam, terima kasih atas jawabannya.


Jawaban:


Disebutkan dalam ensiklopedi fiqh kuwaitiyah


: واتّفق الفقهاء على عدم جواز الانتفاع بشعر الآدميّ بيعاً واستعمالاً، لأنّ الآدميّ مكرّم لقوله سبحانه وتعالى‏:‏ ‏{‏وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ‏}‏‏.‏ فلا يجوز أن يكون شيء من أجزائه مهاناً مبتذلاً 


Para ulama sepakat, tidak boleh memanfaatkan rambut (menjual rambut) manusia, baik untuk diperjual belikan atau didaur ulang. Karena manusia itu dimuliakan sebagaimana firman Allah,


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ 


“Sungguh kami telah memuliakan bani Adam.” (QS. Al-Isra’: 70) Karena itu, tidak boleh ada sedikit pun bagian tubuhnya yang dihinakan atau direndahkan. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, vol. 26, Hal.102)

MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.
Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta. Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi. Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing yang bertanduk. Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur. Jika imam (khatib) telah datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.” [1]


Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar). Pengertian tersebut diperkuat oleh hadits berikut ini:

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani. Dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang untuk shalat), di mana jika imam (khatib) telah datang menuju ke mimbar, maka lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.” 
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?” Dia menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam lembaran-lembaran catatan.” [2]





TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK PADA HARI JUM’AT 
Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at. Padahal Islam menghendaki kaum muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.

Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh. Dan hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.” [3]

Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.” [4]
__________
Foote Note
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 881) dan Muslim (no. 850).
[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 21765) dan selainnya yang dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 710).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 880) dan Muslim (no. 846).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883).




TIDAK MAU MENEMPATI BARISAN (SHAFF) PERTAMA MESKI DATANG LEBIH AWAL
Di antara jama’ah ada yang datang ke masjid lebih awal dan mendapati barisan pertama masih kosong, tetapi dia malah memilih untuk menempati barisan kedua atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang misalnya, atau memilih barisan belakang sehingga dia bisa bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu bertentangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menduduki barisan pertama yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat tersebut, karena agungnya pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan yang terkandung padanya. Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu kecuali dengan cara undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga dia tidak kehilangan pahala yang melimpah itu.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seandainya orang-orang itu mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan dan shaff pertama kemudian mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan undian, niscaya mereka akan melakukannya.” [1]

Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:

“Seandainya kalian atau mereka mengetahui apa yang terdapat di shaff terdepan, niscaya akan dilakukan undian.” [2]

Dengarlah keutamaan yang melimpah bagi orang yang bersuci dan bersegera mendatanginya. 

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, yang dinilai hasan oleh at-Tirmidzi serta dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih as-Sunan, dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [3]

Mengenai penafsiran kalimat, ghassala wa ightasala, para ulama memiliki dua pendapat: 

  1. Membasahi kepala dan mandi, sebagai upaya membersihkan diri secara maksimal. Dan ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.
  2. Mencampuri isterinya sehingga dia harus membersihkan diri dan mandi. Dan inilah pendapat Waki’.
Mereka menyunnahkan seseorang mencampuri isterinya pada hari Jum’at karena dua alasan: 
  1. Agar nafsu syahwatnya tersalurkan pada tempat yang halal sehingga dia berangkat menunaikan shalat Jum’at dan bisa menundukkan pandangan, mengonsentrasikan pikiran untuk mendengarkan khutbah dan mengambil pelajaran dari nasihat yang disampaikan.
  2. Mudah-mudahan dengan apa yang dilakukannya itu Allah akan memberikan berkah sehingga akan mengeluarkan dari tulang rusuknya anak-anak yang shalih, sehingga dengan demikian itu telah menanamkan benihnya pada hari yang penuh berkah, yaitu hari Jum’at. Di antara yang memperkuat makna itu adalah:“Barangsiapa mandi seperti mandi janabat pada hari Jum’at dan kemudian pergi berangkat…”
Bakkara wa ibtakara, ada yang mengatakan, Hal tersebut sebagai ta’kiid (penekanan) dan ada juga yang mengatakan: bakkara berarti berangkat pagi-pagi ke masjid. Ibtakara berarti mendengar khuthbah dari sejak awal.

Danaa min al-Imaam berarti menempati barisan-barisan pertama yang dekat dengan imam (khatib).

Fastama’a walam yalghu berarti mendengarkan khutbah dan tidak lengah darinya oleh aktivitas lainnya.





MELANGKAHI PUNDAK JAMA’AH YANG DATANG LEBIH AWAL PADA HARI JUM’AT 
Di antara kaum muslimin ada yang datang terlambat ke masjid, sehingga dia menyela jama’ah yang datang lebih awal dan duduk dengan melangkahi pundak mereka sehingga dia sampai ke barisan pertama. Dan ini jelas salah. Mestinya dia harus menempati tempat yang terakhir kali ia dapatkan.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.” [4]





ORANG YANG MASUK KE MASJID BERDIRI DAN MENUNGGU SAMPAI ADZAN SELESAI DIKUMANDANGKAN, BARU KEMUDIAN MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID 
Sebagian orang jika memasuki masjid sedang khathib sudah berada di atas mimbar dan muadzin masih mengumandangkan adzan maka dia akan tetap berdiri sambil menunggu adzan selesai. Dan ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan dan khatib menyampaikan khutbah, baru dia mulai mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Ini merupakan tindakan yang salah. Mendengar adzan adalah sunnah, sementara mendengar khutbah adalah wajib, sehingga yang wajib harus diutamakan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengabaikan yang wajib untuk menunaikan yang sunnah.

Dengan demikian, yang benar adalah memulai shalat Tahiyyatul Masjid langsung ketika sampai di masjid meskipun muadzin tengah mengumandangkan adzan agar dia bisa mendengar khutbah secara lengkap.



BERBICARA SAAT KHUTBAH TENGAH BERLANGSUNG
Di antara jama’ah ada juga yang berbincang dengan orang secara perlahan di sekitarnya saat khutbah tengah berlangsung. Dan ini jelas salah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk diam guna mendengarkan khutbah Jum’ah dengan seksama.

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, yaitu satu hadits yang diriwayatkan empat perawi dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [5]

Di dalam kitab ash-Shahiihain telah disebutkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika engkau mengatakan kepada temanmu, ‘Diam,’ pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, berarti engkau telah berbuat sia-sia.” [6]

Lalu apa hukuman bagi orang yang berbicara atau melangkahi pundak jama’ah? 
Hukumannya adalah tidak ditetapkan baginya pahala shalat Jum’at dan dia juga tidak akan mendapatkan keutamaannya, dan shalat Jum’at itu hanya akan menjadi shalat Zhuhur baginya.

Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah yang dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, lalu memakai minyak wangi isterinya jika dia punya, dan mengenakan pakaian yang bagus, lalu tidak melangkahi pundak orang-orang, serta tidak lengah saat diberi nasihat (khutbah), maka hal itu menjadi penghapus dosa (kecil) antara keduanya. Dan barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur baginya. ” [7]

__________
Foote Note 
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 721) dan Muslim (no. 437).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 439).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa-i (no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1115) dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa'i (no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 934) dan Muslim (no. 851).
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah (no. 347). Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 720).





JAMA’AH TIDUR SEMENTARA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAHNYA 
Sebagian orang tertidur sementara khatib sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus dibangunkan untuk mendengarkan nasihat.

Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan mereka berkata tegas mengenai hal tersebut.” [1]

Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk untuk pindah dari tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari Jum’at, maka hendaklah dia pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat lainnya.” [2]





BERSANDARNYA SEBAGIAN ORANG KE DINDING DAN TIDAK MENGHADAP KHATIB 
Ada sebagian orang yang dalam mendengarkan khutbah Jum’at lebih senang bersandar ke dinding atau tiang dan tidak menghadap ke arah khatib, bahkan mereka membelakanginya. Dan ini jelas bertentangan dengan petunjuk para Sahabat Nabi di dalam khutbah Jum’at dan juga bertolak belakang dengan etika mendengar khutbah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Jika berkhutbah Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara Sahabat-Sahabat beliau menghadapkan wajah mereka ke arah beliau.” [3]

Dari Muthi’ al-Ghazal dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sudah menaiki mimbar, maka kami pun menghadapkan wajah kami ke arah beliau.” [4]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka kami langsung menghadapkan wajah kami ke arah beliau.” [5]

Dari Abban bin ‘Abdullah al-Bajali, dia berkata, Aku pernah melihat ‘Adi bin Tsabit menghadapkan wajahnya ke arah khatib jika khatib itu berdiri sambil berkhutbah. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Aku lihat engkau menghadapkan wajahmu ke khatib?” Dia menjawab, “Karena aku pernah melihat para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.” [6]

Dari Nafi’, mantan budak Ibnu ‘Umar bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar mengerjakan shalat sunnah pada hari Jum’at hingga selesai sebelum khatib keluar, dan ketika khatib telah datang sebelum khatib itu duduk, dia (‘Abdullah bin ‘Umar) menghadapkan wajah ke arahnya.

Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullahu mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyampaikan khutbahnya, maka mereka langsung mengarahkan wajah mereka kepadanya sampai beliau selesai dari khutbahnya" 

Imam Yahya bin Sa’id al-Anshari rahimahullahu mengatakan, “Yang sunnah untuk dilakukan adalah jika khatib sudah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka hendaklah semua orang mengarahkan wajah ke arahnya.” [7]

Al-Atsram mengatakan, aku pernah katakan kepada Abu ‘Abdullah [8],“Ketika khatib berada agak jauh di sebelah kananku, maka apakah jika aku ingin menghadap kepadanya, aku harus mengalihkan wajahku dari arah kiblat?” Dia menjawab, “Ya, arahkan wajahmu kepadanya.” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang-orang untuk menghadap ke arah khatib jika dia tengah berkhutbah. Dan itu merupakan pendapat Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur rayi.” [10]

Ibnu Mundzir rahimahullahu mengatakan, “Hal itu bagaikan ijma’ (kesepakatan para ulama).” [11]

At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan terhadap hal tersebut dilakukan oleh para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang lainnya mereka menyunnahkan untuk menghadap ke khatib jika dia tengah berkhutbah.” [12]





MEMAINKAN BIJI TASBIH ATAU KUNCI SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG 
Sebagian orang ada yang melakukan hal yang sia-sia baik dengan kunci-kunci atau biji tasbih yang ada di tangannya saat mendengar khutbah Jum’at. Ini jelas bertentangan dengan ketenangan dan perhatian terhadap peringatan dan nasihat yang disampaikan kepadanya.

Bahkan hal tersebut masuk ke dalam kelengahan yang dilarang untuk dilakukan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Barangsiapa yang memegang batu kerikil berarti dia telah berbuat sia-sia.” [13]

Dan terkadang ada juga salah seorang dari mereka yang mengeluarkan kayu siwak dan bersiwak saat khutbah tengah berlangsung. Ini juga termasuk dalam kategori lengah (berbuat sia-sia).





MEMISAHKAN DUA ORANG YANG DUDUK BERDAMPINGAN PADA HARI JUM’AT
Terkadang ada orang yang datang terakhir ke masjid, lalu melangkahi pundak-pundak jama’ah yang datang lebih awal serta memisahkan duduk orang-orang agar dia bisa sampai di barisan pertama. Dan ini merupakan satu hal yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani.

“Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khuthbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.” [14]

Kemudian orang yang memisahkan di antara dua orang ini, yakni dengan melangkahi keduanya atau duduk di antara keduanya benar-benar telah kehilangan pahala yang besar, yaitu yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang dan kemudian mengerjakan shalat sunnah dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikutnya”. [15]

Al-Hafizh rahimahullahu mengatakan, “Setelah dilakukan penghimpunan terhadap jalan-jalan dan lafazh-lafazh hadits, maka tampak sekumpulan dari apa yang kami sampaikan tadi bahwa penghapusan dosa dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya itu dengan syarat adanya semua hal berikut ini:

  1. Mandi dan membersihkan diri.
  2. Memakai minyak wangi atau minyak rambut.
  3. Memakai pakaian yang paling bagus.
  4. Berjalan kaki dengan penuh ketenangan.
  5. Tidak melangkahi pundak jama’ah yang datang lebih awal.
  6. Tidak memisahkan antara dua orang yang berdampingan.
  7. Tidak mengganggu.
  8. Mengerjakan amalan-amalan sunnah.
  9. Diam.
  10. Tidak melakukan aktivitas yang melengahkan” [16]
Lebih lanjut, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr disebutkan, ‘Oleh karena itu, barangsiapa melangkahi orang atau melakukan hal yang melengahkan, maka baginya shalat Jum’at itu hanya shalat Zhuhur semata" [17]

__________
Foote Note 
[1]. Tafsiir al-Qurthubi (XVIII/117) dan al-Qaulul Mubiin (no. 346).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/135), Abu Dawud (no. 119), at-Tirmidzi (no. 526), Ibnu Hibban (no. 2792) Ihsaan.
[3]. Zaadul Ma’aad (I/430).
[4]. Hasan bisyawaahidi (dengan beberapa penguatnya): Diriwayat-kan oleh al-Bukhari dalam kitab at-Taariikh al-Kabiir (IV/II/ 47). Dinilai hasan oleh al-Albani dengan beberapa syahidnya dalam kitabnya, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2080).
[5]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 509) dan dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi.
[6]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (III/198). Al-Albani mengatakan di dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/114), “Sanad ini jayyid.” Dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1136) dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dan dinilai shahih oleh al-Albani.
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (III/199) dengan sanad hasan.
[8]. Yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
[9]. Al-Mughni (III/172).
[10]. Ibid (III/172).
[11]. Ibid (III/172).
[12]. Sunan at-Tirmidzi: kitab al-Jumu’ah, bab Maa Jaa’a fii Istiqbaalil Imaam idzaa Khathaba.
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 857). Dan lihat kitab as-Subhah, Taariikhuhaa wa Hukmuhaa, Dr. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid hafizhahullah. (Telah kami terbitkan dengan judul: Adakah Biji Tasbih pada Zaman Rasulullah j -pent.)
[14]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1115) dan dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[15]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883, 910).
[16]. Fat-hul Baari, syarah hadits no. 883.
[17]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 347) dan dinilai hasan oleh al-Albani.





TIDAK MEMISAHKAN ANTARA SHALAT JUM’AT DAN SHALAT SUNNAHNYA DENGAN PINDAH TEMPAT ATAU PEMBICARAAN 
Di antara kaum muslimin ada yang mengerjakan shalat Jum’at, kemudian berdiri dan langsung mengerjakan shalat sunnah Ba’diyah. Dan ini jelas salah.

Yang benar adalah pindah ke tempat lain untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah atau minimal berbicara meski hanya dengan sedikit dzikir atau tasbih atau yang semisalnya untuk menyempurnakan pemisahan antara shalat Jum’at dengan shalat sunnahnya.

Yang menjadi dalil bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari ‘Umar bin ‘Atha’ bin Abil Khuwar:

“Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah [1]. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.’” [2]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya terdapat dalil atas apa yang dikemukakan oleh rekan-rekan kami [3] bahwa shalat-shalat nafilah rawatib dan juga yang lainnya disunnahkan untuk berpindah dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat lain.

Tetapi perlu saya kemukakan, shalat nafilah (sunnah) di rumah lebih afdhal (utama) dengan beberapa dalil berikut:

  • Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian selesai menunaikan shalat di masjid, maka hendaklah dia memberikan bagian untuk rumah tersebut di dalam shalatnya, karena sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya itu.” [4]
  • Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kerjakanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya laksana kuburan.” [5] An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Artinya, shalatlah di rumah kalian dan janganlah engkau menjadikan tempat tinggal kalian itu seperti kuburan yang tidak pernah ditempati untuk shalat. Dan yang dimaksudkan di sini adalah shalat sunnah.Dengan kata lain: kerjakanlah shalat sunnah di rumah kalian.” [6]
  • Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian mengerjakan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” [7]




MENINGGALKAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM PADA HARI JUM’AT 
Sebagian orang ada yang lalai untuk bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at, meskipun keutamaannya sangat besar, pahalanya pun begitu melimpah, khususnya pada hari Jum’at.

Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, yang dinilai shahih olehnya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani.

Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian adalah hari Jum’at, karenanya perbanyak shalawat atas diriku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.” Lalu para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami akan diperlihatkan kepadamu sedang engkau telah hancur lebur?” Dia berkata, dia mengatakan, “Telah rusak berserakan.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan tanah dari memakan jasad-jasad para Nabi.” [8]

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang memberikan salam (shalawat) kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salam (shalawat) padanya.” [9]

Dan shighah (bentuk) shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik adalah yang ditetapkan di dalam kitab ash-Shahiihain, sebagai berikut: Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan, “Wahai Rasulullah, mengenai salam kepadamu, maka kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana kami harus bershalawat kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.” [10]





TIDAK MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID KETIKA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH 
Di antara kaum muslimin ada yang selalu me-ngerjakan shalat Tahiyyatul Masjid, karena dia mengetahui bahwa shalat tersebut adalahsunnah muakadah (yang ditekankan).

Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga mengerjakan shalat dua rakaat.” [11]

Tetapi, jika dia masuk masjid ketika khatib sedang menyampaikan khutbah maka dia langsung duduk dan tidak mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Dan jika ditanyakan kepadanya mengenai alasan tindakannya itu maka dia menjawab, karena aku pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya beliau bersabda, “Jika seorang khatib telah menaiki mimbar, maka tidak ada shalat dan pembicaraan.” 

Maka dapat kami katakan bahwa hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali)yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil pijakan. Telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir dan di dalam sanadnya terdapat Ayyub bin Nuhaik, dia munkarul hadits. Oleh karena itu, hadits ini dinilai dha’if oleh al-Haitsami di dalam kitab Maj-ma’uz Zawaa-id (II/184) dan juga al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (II/409).

Sementara itu, al-Albani di dalam kitab, Sil-silah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 87) mengatakan, “Hadits ini bathil.” 

Bahkan telah ditegaskan perintah untuk mengerjakan shalat dua rakaat tersebut bagi orang yang datang ketika khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan: Dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Ada seseorang datang ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah kepada jama’ah pada hari Jum’at, lalu beliau bertanya:

“Apakah kamu sudah mengerjakan shalat (Tahiyyatul Masjid), hai fulan? “Belum,” jawabnya. Maka beliau bersabda: “Berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat.” [12]

Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Sulaik al-Ghathafani pernah datang ke masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah memberi khutbah lalu dia langsung duduk, maka beliau berkata kepadanya, “Wahai Sulaik, berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat dan perpendeklah dalam mengerjakan shalat tersebut.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah, maka hendaklah dia mengerjakan shalat 2 rakaat dan perpendeklah shalat tersebut.” [13]

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75 Khathaan fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang dibangun di dalam masjid.
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883) dan Abu Dawud (no. 1129).
[3]. Para penganut madzhab Imam asy-Syafi’i.
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 778).
[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1187) dalam kitab al-Jumu’ah, bab at-Tathawwu’ fil Buyuut. Muslim (no. 777) di dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Istihbaab Shalaatin Naafilah fil Bait.
[6]. Syarh Muslim (no. 777).
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6113) dan Muslim (no. 781).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1047), Ahmad (IV/8), dinilai shahih oleh Ibnu Hibban (no. 550), dan al-Hakim (I/278). Disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam kitab Shaiihul Jaami’ (no. 2212) dan al-Arnauth dalam kitab Riyaadhush Shaalihiin (no. 529).
[9]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2041). An-Nawawi mengatakan di dalam kitab Riyaadhush Shaalihiin: Sanadnya shahih dan dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 5679).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4797), Muslim (no. 406).
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1167) dan Muslim (no. 714).
[12]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 930) dan Muslim (no. 875).
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 875).