Pengetian Qiyas


Qiyas secara bahasa : Pengukuran (التقدير) dan Penyamaan (المساواة).





Secara istilah :





تسوية فرع بأصل في حكم لعلَّة جامعة بينهما





“Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya.”





Cabang (الفرع) : yang diqiyaskan (المقيس).





Pokok/ashl (الأصل) : yang diqiyaskan kepadanya (المقيس عليه).





Hukum (الحكم) :





ما اقتضاه الدليل الشرعي من وجوب، أو تحريم، أو صحة، أو فساد، أو غيرها





“Apa yang menjadi konsekuensi dalil syar’i dari yang wajib atau harom, sah atau rusak, atau yang selainnya.”





Sebab/‘illah (العلة) :





المعنى الذي ثبت بسببه حكم الأصل





“Sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut.”





Ini merupakan empat rukun qiyas, dan qiyas merupakan salah satu dalil yang hukum-hukum syar’i ditetapkan dengannya.




Dan sungguh al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan sahabat telah menunjukkan dianggapnya qiyas sebagai dalil syar’i. Adapun dalil-dalil dari al-Kitab :





1. Firman Alloh ta’ala :





اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَان





“Allah-lah yang menurunkan al-Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) mizan.” [QS. Asy-Syuuro : 17]





Mizan/timbangan (َالْمِيزَان) adalah sesuatu yang perkara-perkara ditimbang dengannya dan diqiyaskan dengannya.





2. Firman Alloh ta’ala :





كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُه





“Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya” [QS. Al-Anbiya : 104]





وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَاباً فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا كَذَلِكَ النُّشُورُ





“Dan Allah-lah mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” [QS. Fathir : 9]





Alloh ta’ala menyerupakan pengulangan penciptaan dengan permulaannya, dan menyerupakan menghidupkan yang mati dengan menghidupkan bumi, ini adalah qiyas..





Di antara dalil-dalil sunnah :





1. Sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal :





أرأيتِ لو كان على أمك دين فقضيته؛ أكان يؤدي ذلك عنها؟ قالتنعم.قال: “فصومي عن أمك





“Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu membayarnya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?” Dia menjawab : “Ya”. Beliau bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.”





2. Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu ia berkata :





يا رسول اللهولد لي غلام أسودفقال: “هل لك من إبل؟ قالنعم، قال: “ما ألوانها؟ قالحمر، قال: “هل فيها من أورق؟ قالنعم، قال: “فأنى ذلك؟ قاللعله نزعه عرق، قال: “فلعل ابنك هذا نزعه عرق





“Wahai Rosullulloh! Telah dilahirkan untukku seorang anak yang berkulit hitam.” Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata : “Apakah kamu memiliki unta? Ia menjawab : “Ya”, Nabi berkata : “Apa saja warnanya?” Ia menjawab : “Merah”, Nabi berkata : “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan?” Ia menjawab : “Ya”, Nabi berkata : “Mengapa demikian?” Ia menjawab : ” Mungkin uratnya ada yang salah” Nabi berkata : “Mungkin juga anakmu ini terjadi kesalahan urat”.





Demikian ini seluruh contoh yang ada dalam kitab dan sunnah sebagai dalil atas kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu sama dengan yang semisalnya.





Dan di antara dalil dari perkataan sahabat : Apa yang datang dari Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dalam hal pemutusan hukum, ia berkata :





ثم الفهم الفهم فيما أدلى عليك، مما ورد عليك مما ليس في قرآن ولا سنة، ثم قايس الأمور عندك، واعرف الأمثال، ثم اعمد فيما ترى إلى أحبها إلى الله، وأشبهها بالحق





“Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu, kepada apa yang datang kepadamu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut dan ketahuilah persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu itu kepada apa yang paling dicintai Alloh dan paling menyerupai kebenaran.”





Ibnul Qoyyim berkata : “dan ini adalah surat (dari Umar, pent) yang mulia yang telah diterima oleh para ‘ulama”.





Dan Al-Muzani meriwayatkan bahwa para ahli fiqih sejak zaman sahabat sampai zaman beliau telah bersepakat bahwa penyamaan dengan yang benar adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil adalah bathil, dan mereka menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqh dalam seluruh hukum-hukum.





Syarat-syarat Qiyas :





Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya :





1. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan shohabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang rusak (فاسد الاعتبار).





Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri, pent) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali.





Ini adalah qiyas yang rusak karena menyelisihi nash, yaitu sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam :





لا نكاح إلا بولي





“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.





2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma’. Jika hukum ashl-nya itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi diqiyaskan dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut adalah lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang lainnya yang dijadikan ashlkadang-kadang tidak shohih. Dan karena mengqiyaskan kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl; menjadi panjang tanpa ada faidah.





Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.





3. Pada hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, agar memungkinkan untuk dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Jika hukum ashl-nya adalah perkara yang murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak diketahui ‘illah-nya, pent), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.





Contohnya : dikatakan daging burung unta dapat membatalkan wudhu diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan burung unta dengan unta, maka dikatakan qiyas seperti ini adalah tidak benar karena hukum ashl-nya tidak memiliki ‘illah yang diketahui, akan tetapi perkara ini adalah murni ta’abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad rohimahulloh, pent).





4. ‘Illah-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan ‘illahtersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i, seperti ‘illah memabukkan padakhomer.





Jika maknanya merupakan sifat yang paten (tetap) yang tidak ada kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan ‘illahdengannya, seperti hitam dan putih.





Contohnya : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma : bahwa Bariroh diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata : suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam.[1]





Perkataan beliau “hitam” merupakan sifat yang tetap yang tidak ada hubungannya dengan hukum, oleh karena itu berlaku hukum memilih bagi seorang budak wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak walaupun suaminya itu berkulit putih, dan hukum tersebut tidak berlaku jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang yang merdeka walaupun suaminya itu berkulit hitam.





5. ‘Illah tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illah tersebut juga ada dalam ashl, seperti menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan mengatakan “uf”/”ah”. Jika ‘illah (pada ashl, pent) tidak terdapat pada cabangnya maka qiyas tersebut tidak sah.





Contohnya : dikatakan ‘illah dalam pengharoman riba pada gandum adalah karena ia ditakar, kemudian dikatakan berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka qiyas seperti ini tidak benar, karena ‘illah (pada ashl-nya, pent) tidak terdapat pada cabangnya, yakni apel tidak ditakar.